April 14, 2008

Perhelatan untuk siapa?

Di suatu pesta pernikahan yang cantik, sempurna dan megah, gue mulai mengantri untuk memberi ucapan selamat kepada pengantin yang berbahagia. Antriannya panjang, tertib, dan teratur. Pastinya udah diatur begitu rupa oleh si empunya hajat. Beberapa kali antrian disalip untuk orang-orang tertentu. Entah karena mereka undangan vip atau karena udah tua aja. Menurut gue nggak masalah. Yang gue lihat memang yang didahulukan adalah orang sudah sepuh, dan nggak akan mungkin bisa ikut antrian panjang. Naahh, yang mulai meresahkan adalah setelah antrian diserobot, kemudiaann, tamu-tamu vip itu musti kudu pake dipotret dulu. Para pengantri mulai berbisik-bisik sebaallll...he he he..

Diriku yang sabar ini (waks), masih tolerable dengan hal-hal gak penting kayak gitu, mungkin mereka juga kepengen kali yeee, foto sama mantan pejabat lah, mantan anggota dpr lah, or whatever. Sok atuh..kasih deehh..

Mendekati panggung, kira-kira 2 atau 3 orang di depan gue, ada sepasang bapak ibu yang sudah bersiap-siap mau bersalaman. Tapi disuruh nunggu karena ada yang lagi di foto. Bapak dan ibu ini sudah agak sepuh juga (yang pasti, mereka bukan orang penting, karena gak didahulukan). Menilik gaya berpakaiannya, mereka hanyalah orang 'biasa'. Si bapak pakai baju koko dan berpeci, si ibu pakai abaya. Gue berpemahaman, mereka kerabat dari kampung halaman. Tiba-tiba , mereka dihentikan oleh si pengarah gaya, karena dibelakang mereka ada sepasang bapak ibu laen, yang jelas-jelas berasal dari kasta yang berbeda. Terlihat dari jas si bapak, dan sasak si ibu yang tinggi. Dengan hebatnya, si pengarah gaya meminta mereka dengan gaya polantas yang sok sibuk, untuk mendahului si bapak ibu sederhana yang sudah bersiap-siap untuk bersalaman. Ooohhh.....gue geraaamm setengah mati.

Gini ya,
Kita semua tamu di pesta itu. Kita diundang oleh yang punya pesta dan diharapkan datang untuk memberi ucapan selamat dan doa kepada mempelai dan keluarga. Status kita sama, walaupun kita datang dengan kostum dan penampilan yang berbeda-beda. Apakah orang yang datang pake jas dan sasak tinggi doanya lebih makbul daripada yang dateng pake peci dan pake abaya?? Belum cencyuu...

Si pengarah gaya dengan gayanya yang super norak dan over acting, nggak berhak menghalangi orang yang mau bersalaman seenaknya. Toh memang sudah giliran bapak ibu sederhana itu untuk bersalaman. Kalaupun memang ada yang didahulukan, biasanya escortnya yang menentukan, orang-orang yang akan menyalip antrian. Bukan si pengarah gaya!!

Yang menyalip si bapak ibu itu juga nggak bijaksana. Mereka kan bisa menolak, dan mempersilahkan orang yang memang sudah gilirannya untuk tetap bersalaman. Bukannya malah iya-iya dan manut aja disuruh melakukan hal yang nggak bener!! Mungkin mereka memang merasa lebih berhak duluan, karena sasaknya lebih tinggi.

Ketika disalip, si ibu ber-abaya hendak protes, tapi si bapak menyabarkan. Menghibur istrinya yang hanya bisa menghela nafas dengan wajah muram. Tujuan mereka hanya mengucapkan doa untuk mempelai dan keluarga. Lain tidak. Pastinya mereka jadi merasa tidak pantas ada disitu hanya karena si pengarah gaya tolol yang sok beraksi bergaya ala polantas dijalan.

Hati gue meleleh. Perhelatan itu ada untuk semua orang yang diundang. Harusnya, semua orang juga dipandang sama. Gue hanya bisa menatap benci entah kepada siapa.

No comments: